SEJARAH PERKEMBANGAN QOWAID FIQHIYAH

Secara garis besar sejarah perkembangan Qowaid Fiqhiyah dari masa Rasulullah hingga saat ini, dikelompokan menjadi tiga periode, yaitu sebagai barikut :

A.    Periode Fiqih pada masa Rasulullah SAW dan Sahabat

Pada masa Rosulullah masih hidup, beliau dijadikan sumber solusi oleh para sahabat dalam memecahkan berbagai persoalan yang dialami umat islam, terutama pada persoalan yang berkaitan dengan masalah fiqhiyah.

Namun pada saat beliau SAW wafat, permasalahan fiqhiyah justru semakin bertambah, dalam kondisi seperti ini maka sahabatlah yang langsung turun menangani problematika yang dialami oleh umat islam pada waktu itu, dikarenakan para sahabat adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah SAW. Dan paling banyak mengetahui tentang syariah. Sehingga menuntut mereka untuk mengeluarkan Ijtihad demi memberikan solusi atas berbagai permasalahan yang dialami oleh umat.

Ijtihad diperlukan manakala permasalahan yang dihadapi belum pernah terjadi pada masa Rassulullah SAW dan tidak diketahui status hukumnya secara spesifik, sehingga mengharuskan para sahabat untuk merumuskan status hukum baru, tentunya setelah melalui metode-metode baku yang berlaku sebelum berijtihad, adapun metode yang dipakai yaitu :

  1. berusaha mencari jawaban dalam Al Qur’an
  2. bila tidak terjawab dalam Al Qura’an, maka dengan Hadist-Hadist
  3. bila tidak menemukan jawaban dari keduanya, maka para sahabat berijtihad sendiri, dengan tetap berkomitmen dalam koridor syariah.

 

Sejak masa pemerintahan Abu Bakar, Umar, Usman hingga Ali bin Abi Thalib para sahabat Nabi SAW banyak yang hijrah keberbagai kawasan yang tentu saja mempunyai sistem sosial dan corak budaya yang berbeda-beda. hijrah mereka umumnya dalam rangka mengembangakan ajaran islam di kawasan masing-masing. Seperti dikufah terdapat sahabat Alaqamah Bin Qays (W.62 H) dan Masruq bin Ajda’ (W.63 H) dan juga di Basrah ada Anas bin Malik al-Anshari (W.63 H) dan Abu al-Aliyah Rifa’i Mahran (W.90H) dan di daerah-daerah lainnya.

Ijtihad pada masa ini oleh para sahabat diberlakukan pada persoalan-persoalan yang tidak dijelaskan secara langsung oleh Nash (Al Qur’an dan As Sunnah), Inilah cikal-bakal penggunaan qiyas (analogi) sebagai salah satu istinbath al-ahkam (perumusan status hukum).

Umar bin Khattab dan Abdullah bin Mas’ud dikenal paling banyak menelurkan produk-produk hukum berdasarkan ro’yu (rasional) yang berdasarkan Al-Qur’an dan hadits yang bersifat ijmal (global).

Istilah fiqh belum dikenal pada masa ini dan juga pada masa Rasulullah SAW akan tetapi lebih dikenal (dimaknai) dengan istinbat (kesimpulan) hukum yang diintisarikan dari Al-Qur’an dan hadits.

 

B.     Periode Tabi’in dan Lahirnya Madzhab Fiqh

Dimasa Tabi’in, murid-murid para sahabat yang tersebar di berbagai kawasan seperti kufah, basrah, yaman dan sebagainya meneruskan penyebaran ilmu fiqh di kawasan masing-masing, dalam rangka melanjutkan estafet para pendahulu mereka.

Sehingga kajian Hukum Fiqh semakin berkembang beberapa tahun berikutnya seiring munculnya madzhab fiqh, seperti madzhab ja’fari dan Hanafi di Kufah, Malik di Madinah, syafi’I di Bagdad-Mesir, serta Dawud Al-Zhabiri dan Hanbali di Bagdad.

Beragam metodologi penggalian hukum (istinbath al-ahkam) diperkenalkan oleh para imam madzhab kepada murid-muridnya, seperti konsep istishlah (Imam Malik), qiyas (Imam Syafi’i) dan istihsan (Imam Hanafi). Dan pada masa ini pula bermunculan kitab-kitab fiqh periode pertama yang ditulis oleh Imam-imam Syafi’I yaitu Kitab “Al-Umm” yang di dalamnya terdapat pembahasan tentang Hukum (rukhsah) dengan perkaataannya yang berbunyi “Keringanan hukum hanya berlaku sesuai petunjuk dari Allah dan Rasulnya, kemudian dilanjutkan dengan satu kaidah yang berbunyi, dalam kondisi darurat diperbolehkan sesuatu yang awalnya tidak diperbolehkan dalam kondisi normal”.

Sedangkan dalam Kitab “AL-Kharraj” (karya Imam Hanafi), beliau menulis beberapa kaidah fiqh, terutama kaidah-kaidah yang berkaitan dengan masalah siyasah atau politik pemerintahan. Contohnya : Imam Hanafi menulis kaidah tentang prinsip dasar kepemimpinan, Yaitu :

نضرف الامام على الرعيه منوط بالمصلحه

“Kebijakan seorang pemimpin menyangkut kepentingan rakyat harus berdasarkan kemaslahatan”.

Penyisipan kaidah-kaidah fiqh dalam kedua kitab ini pada akhirnya menjadi embrio lahirnya kaidah-kaidah fiqh yang kemudian dikembangkan oleh murid-murid Imam Madzhab yang kemudian dilanjutkan oleh generasi-generasi berikutnya. Para mujtahid masa ini melakukan perdebatan dan interaksi dengan madzhab-madzhab yang lain, seperti yang dilakukan oleh Muhammad bin al-Hasan al-syaybani (murid Imam Hanafi) yang sengaja mendatangi madinah untuk mempelajari Kitab “Al-Muwatta” (karya Imam Malik) dan berdiskusi dengan murid-murid beliau. begitu halnya dengan Imam Syafi’ie yang sering berdialog dengan Muhammad bin al-Hasan (Murid Imam Hanafi) yang juga dilakukan oleh Imam-imam yang lain yang kemudian menjadi atau dijadikan sebagai prinsip penggalian hukum. Dari sinilah generasi fuqaha’ dalam setiap madzhab mulai mengembangkan ilmu kaidah fiqh.

Namun sayangnya, ketika memasuki abad ke enam hijriyah, semangat menulis kitab-kitab kaidah fiqih mulai melemah, hampir seratus tahun tidak ada seorang ulama pun yang menulis kitab. Akan tetapi memasuki abad ke tujuh, semangat menulis kitab-kitab kaidah fiqh tumbuh kembali, terbukti dengan bertambahnya kitab-kitab yang ditulis oleh generasi masing-masing madzhab. Para Fuqaha dari empat madzhab menulis kitab kaidah-kaidah fiqh dalam berbagai versi: ada yang berupa matan, syarah, hasyiah, mukhtasar hingga Ta’liqat-ta’liqat.

 

C. Periode Fiqh di Abad Modern

Jejak estafet penulisan kitab-kitab fiqh terus bertahan hingga abad ke-13 hijriyah, atau bertepatan dengan permulaan era modern. Yang membedakan dari abad ini adalah disusunnya sebuah kitab kaidah yang ditulis secara kolektif oleh fuqaha Madzhab Hanafi. Kitab yang diberi nama, “Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah” itu disusun demi menciptakan unifikasi hukum yang akan diterapkan diseluruh peradilan di bawah pemerintahan Turki Ustmani. Dan masih banyak lagi yang lainnya, hal ini menandakan bahwa fiqih akan terus berkembang dengan berbagai kaidah dan polemik baru yang membutuhkan untuk segera diselesaikan, demi menciptakan kemaslahatan bagi umat islam secara umum.

 

Tinggalkan komentar